Perkembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia
Sumber: Berita Iptek Topik: Industri Tags: Biofuel, Energi Alternatif, Industri Kelapa Sawit
Banyak hal yang bisa kita cermati dari kegiatan “Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit” yang diadakan di BPP Teknologi pada tanggal 18-19 Juli 2007. Bagi orang yang tidak berkecimpung dalam penelitian maupun bisnis kelapa sawit, sambutan dan paparan dari beberapa keynote speaker saja sudah mampu memberikan gambaran betapa menariknya industri kelapa sawit ini.
Berdasarkan data tahun 2006, Indonesia telah menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 16 juta ton. Sementara negara tetangga kita Malaysia yang selama ini berada pada posisi no.1, saat ini berada pada posisi ke-2 dengan total produksi sebesar 15.8 juta ton (sumber: pidato sambutan kepala BPP Teknologi & berkas sambutan menteri perindustrian RI). Yang menarik dari data ini adalah, ternyata Indonesia mampu menjadi negara penghasil CPO nomor 1 di dunia 4 tahun lebih cepat dari prediksi sebelumnya, di mana Indonesia diperkirakan baru akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia pada tahun 2010 (sumber: berkas pidato menteri riset dan teknologi, presentasi deputi kepala BPPT bidang teknologi informasi, industri dan material).
Dengan besarnya produksi CPO yang mampu dihasilkan, tentunya hal ini berdampak positif bagi perekenomian Indonesia, baik dari segi kontribusinya terhadap pendapatan negara, maupun besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor industri ini yang mencapai 8.5 juta orang (sumber: berkas sambutan menteri negara riset dan teknologi). Sektor ini juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar perkebunan sawit, di mana presentase penduduk miskin di areal ini kurang dari 6%, jauh lebih rendah dari angka penduduk miskin nasional sebesar 17% (sumber : berkas sambutan menteri negara riset dan teknologi). Boleh dibilang, industri kelapa sawit ini dapat diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Di balik prestasi di atas, sederet permasalahan masih membelit industri ini. Agaknya, jika sebahagian permasalahan saja bisa diatasi, Indonesia akan mampu memperoleh devisa jauh lebih besar daripada yang dapat kita nikmati saat ini. Salah satu permasalahan utamanya adalah masih rendahnya muatan teknologi yang mampu diterapkan, sehingga mayoritas devisa dari industri ini berasal dari industri hulunya. Padahal, nilai tambah terbasar justru terdapat pada industri hilirnya. Sangat banyak produk turunan yang bisa dihasilkan dari kelapa sawit. Industri ban, emulsifier, kertas, makanan dan minuman, personal care, kaca filem, bahan peledak, sampai kepada bahan bakar. Hanya saja, seperti industri oleo kimia, pertumbuhannya relatif stagnan (Marzan,2007). Sementara, industri biofuel yang sudah dipagari dengan instruksi presiden no.1 tahun 2006, juga menuai banyak kendala.
Beberapa langkah strategis telah dilakukan seluruh elemen masyarakat dalam merespon naiknya harga minyak dunia dan turunnya produksi migas Indonesia. Kuatnya keinginan Indonesia untuk mencari energi alternatif pengganti minyak bumi, merupakan upaya yang patut diacungkan jempol. Ini adalah sebuah upaya yang menurut hemat penulis, akan menjadi solusi jangka panjang yang sangat baik. Produk biofuel yang dapat dibuat dari kelapa sawit, pohon jarak, tebu, dan lain-lain, telah direspon oleh Pertamina dengan produknya Biosolar dan Biopremium yang merupakan campuran antara biofuel dengan solar atau premium. Agaknya, turunnya harga minyak dunia telah menyurutkan kembali keinginan negara kita untuk melirik biofuel sebagai energi alternatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa biaya produksi biofuel ini masih tinggi. Pertamina sendiri telah menanggung kerugian yang cukup besar untuk mensubsidi produk bahan bakar dengan kandungan 5% biofuel tersebut. Bahkan, Pertamina mulai menurunkan kandungan biofuel menjadi 3% untuk menekan kerugian. Akan tetapi, tumbuhnya beberapa bentuk usaha yang terkait dengan industri biofuel ini juga tidak bisa dibiarkan mati begitu saja. Perlu adanya kesungguhan untuk mengawal instruksi presiden di atas.
Tingginya harga CPO dunia, ternyata juga menuai masalah di dalam negeri. Seperti yang kita sama-sama ketahui, terjadi kelangkaan pasokan minyak goreng di dalam negeri, karena nilai ekspornya yang sedemikian menggoda. Belum lagi permasalahan-permasalahan lain yang juga menyertai keberadaan kelapa sawit ini, seperti kritikan ahli lingkungan dan dunia internasional terhadap banyaknya hutan tropis yang dibuka untuk lahan perkebunan kelapa sawit.
Terlepas dari adanya dampak negatif yang mengiringi tumbuhnya industri kelapa sawit ini, namun kita bisa berharap dari besarnya pertumbuhan industri ini. Bnanyak hal yang sempat dibicarakan oleh para pembicara di seminar ini agar produk kelapa sawit ini lebih kompetitif, dan mampu merespon isu-isu lingkungan. Solusi ini menyangkut industri hulu sampai hilir, serta dukungan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan. Beberapa hal penting yang perlu dicermati adalah
1. Peningkatan aktivitas penelitian pada teknologi pembibitan supaya kita mampu menghasilkan bibit kelapa sawit yang unggul dan mampu memenuhi kebutuhan pasokan bibit kelapa sawit Indonesia. Tanpa perlu melirik pasar ekspor bibit kelapa sawit, kebutuhan dalam negeripun sudah sangat banyak. Negara seperti Malaysia dan Thailand yang memiliki kemampuan teknologi pembibitan lebih baik, serta keterbatasan perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, tentu akan melirik Indonesia sebagai negara yagn akan membutuhkan bibit kelapa sawit dalam jumlah banyak, seiring dengan rencana peluasan lahan kelapa sawit ke pulau kalimantan dan papua. Dengan mampunya kita memenuhi kebutuhan lokal, dua keuntungan akan mampu kita peroleh, yaitu tidak tergantungnya kita akan pasokan bibit dari luar, dan terbukanya lahan pekerjaan bagi para petani maupun para peneliti di bidang pertanian.
2. Masih terkait dengan point 1, produk kelapa sawit yang dihasilkan dari bibit yang berkwalitas, akan mampu meningkatkan produk cpo per satuan luasnya. Dengan demikian, strategi intensifikasi bisa kita jadikan solusi daripada strategi ekstensifikasi yang memiliki dampak berkurangnya hutan tropis kita.
3. Nilai tambah. Hal yang juga banyak dibahas oleh para pembicara adalah masih rendahnya kemampuan kita dalam meingkatkan nilai tambah melalui industri hilir. Dengan baiknya prospek industri kelapa sawit kita, dan besarnya dukungan dari pemerintah maupun perbankan, maka kita telah memiliki cukup modal untuk mengembangkan industri hilir kita. Sudah saatnya kita mulai memfokuskan diri kepada industri hilir ini, karena ini akan bisa menjadi multiplier efect bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sejalan dengan strategi pembangunan kita kepada industri dengan nilai tambah yang tinggi dan industri jasa.
4. Peningkatan pelayanan bagi proses perijinan, penghapusan pungutan dan perbaikan fasilitas seperti pelabuhan ekspor. Perbaikan pada bidang ini akan mampu menurunkan biaya produksi, menambah tingginya keuntungan dan semakin tersedianya dana untuk penelitian dan pengembangan
Referensi :
Kamdi Arifin, Kendala dan Harapan dalam Mendukung Percepatan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Nasional, Dipresentasikan dalam Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Sambutan Menteri Negara Riset dan Teknologi RI pada Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Sambutan Menteri Perindustrian RI pada Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Sambutan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Budaya Hanung, Strategi perkuatan rantai Pasok Bahan Baku untuk Pengolahan dan Distribusi Biodiesel, Dipresentasikan dalam Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Iskandar Marzan Aziz, Pengembangan Teknologi Industri Hilir Kelapa Sawit: Lesson Learned from Biodiesel, Dipresentasikan dalam Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Asmono Dwi, Teknologi Pemuliaan dan Perbenihan untuk Penguatan Daya Saing Industri Kelapa Sawit, Dipresentasikan dalam Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Banyak hal yang bisa kita cermati dari kegiatan “Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit” yang diadakan di BPP Teknologi pada tanggal 18-19 Juli 2007. Bagi orang yang tidak berkecimpung dalam penelitian maupun bisnis kelapa sawit, sambutan dan paparan dari beberapa keynote speaker saja sudah mampu memberikan gambaran betapa menariknya industri kelapa sawit ini.
Berdasarkan data tahun 2006, Indonesia telah menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 16 juta ton. Sementara negara tetangga kita Malaysia yang selama ini berada pada posisi no.1, saat ini berada pada posisi ke-2 dengan total produksi sebesar 15.8 juta ton (sumber: pidato sambutan kepala BPP Teknologi & berkas sambutan menteri perindustrian RI). Yang menarik dari data ini adalah, ternyata Indonesia mampu menjadi negara penghasil CPO nomor 1 di dunia 4 tahun lebih cepat dari prediksi sebelumnya, di mana Indonesia diperkirakan baru akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia pada tahun 2010 (sumber: berkas pidato menteri riset dan teknologi, presentasi deputi kepala BPPT bidang teknologi informasi, industri dan material).
Dengan besarnya produksi CPO yang mampu dihasilkan, tentunya hal ini berdampak positif bagi perekenomian Indonesia, baik dari segi kontribusinya terhadap pendapatan negara, maupun besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor industri ini yang mencapai 8.5 juta orang (sumber: berkas sambutan menteri negara riset dan teknologi). Sektor ini juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar perkebunan sawit, di mana presentase penduduk miskin di areal ini kurang dari 6%, jauh lebih rendah dari angka penduduk miskin nasional sebesar 17% (sumber : berkas sambutan menteri negara riset dan teknologi). Boleh dibilang, industri kelapa sawit ini dapat diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Di balik prestasi di atas, sederet permasalahan masih membelit industri ini. Agaknya, jika sebahagian permasalahan saja bisa diatasi, Indonesia akan mampu memperoleh devisa jauh lebih besar daripada yang dapat kita nikmati saat ini. Salah satu permasalahan utamanya adalah masih rendahnya muatan teknologi yang mampu diterapkan, sehingga mayoritas devisa dari industri ini berasal dari industri hulunya. Padahal, nilai tambah terbasar justru terdapat pada industri hilirnya. Sangat banyak produk turunan yang bisa dihasilkan dari kelapa sawit. Industri ban, emulsifier, kertas, makanan dan minuman, personal care, kaca filem, bahan peledak, sampai kepada bahan bakar. Hanya saja, seperti industri oleo kimia, pertumbuhannya relatif stagnan (Marzan,2007). Sementara, industri biofuel yang sudah dipagari dengan instruksi presiden no.1 tahun 2006, juga menuai banyak kendala.
Beberapa langkah strategis telah dilakukan seluruh elemen masyarakat dalam merespon naiknya harga minyak dunia dan turunnya produksi migas Indonesia. Kuatnya keinginan Indonesia untuk mencari energi alternatif pengganti minyak bumi, merupakan upaya yang patut diacungkan jempol. Ini adalah sebuah upaya yang menurut hemat penulis, akan menjadi solusi jangka panjang yang sangat baik. Produk biofuel yang dapat dibuat dari kelapa sawit, pohon jarak, tebu, dan lain-lain, telah direspon oleh Pertamina dengan produknya Biosolar dan Biopremium yang merupakan campuran antara biofuel dengan solar atau premium. Agaknya, turunnya harga minyak dunia telah menyurutkan kembali keinginan negara kita untuk melirik biofuel sebagai energi alternatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa biaya produksi biofuel ini masih tinggi. Pertamina sendiri telah menanggung kerugian yang cukup besar untuk mensubsidi produk bahan bakar dengan kandungan 5% biofuel tersebut. Bahkan, Pertamina mulai menurunkan kandungan biofuel menjadi 3% untuk menekan kerugian. Akan tetapi, tumbuhnya beberapa bentuk usaha yang terkait dengan industri biofuel ini juga tidak bisa dibiarkan mati begitu saja. Perlu adanya kesungguhan untuk mengawal instruksi presiden di atas.
Tingginya harga CPO dunia, ternyata juga menuai masalah di dalam negeri. Seperti yang kita sama-sama ketahui, terjadi kelangkaan pasokan minyak goreng di dalam negeri, karena nilai ekspornya yang sedemikian menggoda. Belum lagi permasalahan-permasalahan lain yang juga menyertai keberadaan kelapa sawit ini, seperti kritikan ahli lingkungan dan dunia internasional terhadap banyaknya hutan tropis yang dibuka untuk lahan perkebunan kelapa sawit.
Terlepas dari adanya dampak negatif yang mengiringi tumbuhnya industri kelapa sawit ini, namun kita bisa berharap dari besarnya pertumbuhan industri ini. Bnanyak hal yang sempat dibicarakan oleh para pembicara di seminar ini agar produk kelapa sawit ini lebih kompetitif, dan mampu merespon isu-isu lingkungan. Solusi ini menyangkut industri hulu sampai hilir, serta dukungan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan. Beberapa hal penting yang perlu dicermati adalah
1. Peningkatan aktivitas penelitian pada teknologi pembibitan supaya kita mampu menghasilkan bibit kelapa sawit yang unggul dan mampu memenuhi kebutuhan pasokan bibit kelapa sawit Indonesia. Tanpa perlu melirik pasar ekspor bibit kelapa sawit, kebutuhan dalam negeripun sudah sangat banyak. Negara seperti Malaysia dan Thailand yang memiliki kemampuan teknologi pembibitan lebih baik, serta keterbatasan perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, tentu akan melirik Indonesia sebagai negara yagn akan membutuhkan bibit kelapa sawit dalam jumlah banyak, seiring dengan rencana peluasan lahan kelapa sawit ke pulau kalimantan dan papua. Dengan mampunya kita memenuhi kebutuhan lokal, dua keuntungan akan mampu kita peroleh, yaitu tidak tergantungnya kita akan pasokan bibit dari luar, dan terbukanya lahan pekerjaan bagi para petani maupun para peneliti di bidang pertanian.
2. Masih terkait dengan point 1, produk kelapa sawit yang dihasilkan dari bibit yang berkwalitas, akan mampu meningkatkan produk cpo per satuan luasnya. Dengan demikian, strategi intensifikasi bisa kita jadikan solusi daripada strategi ekstensifikasi yang memiliki dampak berkurangnya hutan tropis kita.
3. Nilai tambah. Hal yang juga banyak dibahas oleh para pembicara adalah masih rendahnya kemampuan kita dalam meingkatkan nilai tambah melalui industri hilir. Dengan baiknya prospek industri kelapa sawit kita, dan besarnya dukungan dari pemerintah maupun perbankan, maka kita telah memiliki cukup modal untuk mengembangkan industri hilir kita. Sudah saatnya kita mulai memfokuskan diri kepada industri hilir ini, karena ini akan bisa menjadi multiplier efect bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sejalan dengan strategi pembangunan kita kepada industri dengan nilai tambah yang tinggi dan industri jasa.
4. Peningkatan pelayanan bagi proses perijinan, penghapusan pungutan dan perbaikan fasilitas seperti pelabuhan ekspor. Perbaikan pada bidang ini akan mampu menurunkan biaya produksi, menambah tingginya keuntungan dan semakin tersedianya dana untuk penelitian dan pengembangan
Referensi :
Kamdi Arifin, Kendala dan Harapan dalam Mendukung Percepatan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Nasional, Dipresentasikan dalam Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Sambutan Menteri Negara Riset dan Teknologi RI pada Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Sambutan Menteri Perindustrian RI pada Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Sambutan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Budaya Hanung, Strategi perkuatan rantai Pasok Bahan Baku untuk Pengolahan dan Distribusi Biodiesel, Dipresentasikan dalam Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Iskandar Marzan Aziz, Pengembangan Teknologi Industri Hilir Kelapa Sawit: Lesson Learned from Biodiesel, Dipresentasikan dalam Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Asmono Dwi, Teknologi Pemuliaan dan Perbenihan untuk Penguatan Daya Saing Industri Kelapa Sawit, Dipresentasikan dalam Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit, BPPT, 18-19 Juli 2007.
Komentar
Posting Komentar