Hilirisasi Minyak Sawit Berhasil Dorong Nilai Tambah Industri Sawit
JAKARTA - Di saat program hilirisasi sektor pertambangan masih jalan di tempat, sektor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) justru mencatat sukses besar. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, hilirisasi merupakan cara efektif untuk mendorong multiplier effect di sektor CPO.
“Indonesia punya potensi besar dan sudah membuktikan bisa sukses,” ujarnya.
Fadhil menyebut, hilirisasi tidak hanya mendorong kinerja industri pengolahan CPO, melainkan juga kinerja sektor hulu. Sebab, ketika hilirisasi dijalankan, hasil olahan bisa dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi karena adanya nilai tambah. “Karena itu, dari industri perkebunannya juga tumbuh signifikan,” katanya.
Data GAPKI menunjukkan, luas kebun rakyat yang pada 2003 sebesar 1,85 juta hektare, pada 2012 naik lipat dua menjadi 3,7 juta hektare. Selain itu, jumlah perusahaan perkebunan sawit swasta dan BUMN tumbuh menjadi 1.320. Tumbuhnya industri CPO juga mendorong munculnya 750.000 unit usaha kecil menengah (UKM) yang menjadi supplier barang dan jasa.
Meski mencatat sukses besar, Fadhil menilai masih banyak hal yang mesti diperbaiki untuk mendorong percepatan hilirisasi CPO. Misalnya, dengan mempercepat pembangunan infrastruktur yang berkualitas seperti fasilitas logistik, serta penyediaan akses jalan dari pusat produksi darat/pedalaman ke pelabuhan ekspor.
Di samping itu, pemerintah juga harus memastikan tersedianya bahan baku untuk diolah industri hilir CPO. Caranya, dengan membatasi atau melarang ekspor bahan baku mentah untuk mencukupi kebutuhan industri dalam negeri sekaligus meningkatkan nilai tambah produk.
“Konkretnya, pro hilirisasi harus ditunjukkan dengan pengenaan tarif (bea keluar) yang semakin rendah untuk produk hilir,” ujarnya.
Di sisi lain, Fadhil menilai prospek industri CPO tahun ini cukup cerah meski permintaan global belum sepenuhnya pulih. Tahun ini, dia memperkirakan pasokan CPO dari Indonesia naik 3,3 juta ton untuk keperluan biofuel. Sedangkan harga CPO dan produk turunannya di pasar internasional juga bakal tembus USD 1.100 per ton. “Karena itu, nilai ekspor CPO tahun ini bisa USD 24,2 miliar,” katanya.
Sekjen Gapki Joko Supriyono, menambahkan pihaknya juga meminta pemerintah mencabut moratorium pemanfaatan lahan gambut di kawasan hutan. Dengan begitu, lahan gambut bisa dimanfaatkan untuk memperluas lahan kelapa sawit dan meningkatkan produksi CPO.
Dia mengatakan, lahan gambut yang ditanami kelapa sawit mereduksi hampir setengah emisi dibandingkan dengan gambut tropis atau sawah gambut. Yaitu di kisaran 31,40-57,06 karbon dioksida per hektare per tahun.
"Sampai saat ini perkebunan kelapa sawit di lahan gambut perawan hanya tiga persen, masih sangat kecil," ujarnya.
Tanaman sawit, tambah dia, bisa tumbuh subur di Indonesia. Minyak nabati di Eropa dan Amerika Serikat hanya mengandalkan tanaman seperti kedelai dan lainnya. Sudah terbukti kelapa sawit merupakan tanaman dengan produktivitas paling tinggi untuk mengisi permintaan dunia.
"Kebutuhan dunia 5-6 juta ton CPO. Itu hanya butuh sejuta hektare kebun sawit, kalau kedelai butuh 10 juta hektare," tandasnya.
Karena itu, Joko menilai wajar apabila negara-negara Eropa serta Amerika Serikat terus melakukan kampanye hitam terhadap sawit Indonesia. Padahal, negara yang paling banyak melakukan deforestasi (penggundulan hutan) dan alih guna lahan gambut adalah Tiongkok dan Rusia. "Jadi bukan Indonesia, karena Tiongkok dan Rusia lebih banyak," jelasnya. (owi/wir/jpnn/che/k15)
Komentar
Posting Komentar